Masih suka menonton sinetron Indonesia? Sudah menjadi rahasia umum kalau dunia persinetronan Indonesia itu dinilai kurang berkualitas oleh sebagian orang, membosankan, dan penuh drama. Bayangkan saja, adegan pemeran utama yang tertabrak mobil dan sudah berteriak dari jarak jauh dipastikan scene yang wajib ada dalam setiap tayangan. Menangis sesenggukan juga masuk dalam list kedua yang pasti ada di setiap episodenya.
Bukan hal yang mengherankan jika kemudian tayangan ini dianggap kurang mendidik hingga diadukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Walaupun begitu, terbukti tak sedikit pula yang mengikuti kehidupan para pesinetron ini, hingga ada yang menangis bombay saat tokoh kesayangan mereka sakit atau mati. Tapi tau enggak sih kenapa kualitas sinetron Indonesia itu suka enggak jelas dan bikin males yang nonton? Beginilah alasannya.
Ending yang tak pernah direncanakan, tergantung rating lah~
Kalian tau dengan kematian Boy ‘Anak Jalanan’ di episode yang 770? Tokoh yang diperankan oleh Stefan William ini tiba-tiba bikin gempar penggemarnya karena ia meninggal saat kecelakaan dalam perjalanan menjemput Reva. Jelas hal tersebut bikin patah hati semua orang dan bertanya ‘kenapa harus Boy yang mati, kenapa enggak tokoh lain saja?’ usut punya usut, menurut sang penulis naskahnya, sedari awal mereka memang tidak menentukan ending yang seperti apa.
Pembuatan episode yang ribuan tergantung rating dan antusias penonton, jika kebetulan banyak yang suka, ya cerita dilanjutkan. Namun, terkait kasus Boy ini, tokoh tersebut sengaja dimatikan karena Stefan William yang undur diri dan tidak lagi mau terlibat, jadi, ya satu-satunya cara adalah membuat ia mati dalam kecelakaan, seperti dilansir dari wawancara Vice.com.
Biaya produksi yang terbatas
Untuk membuat tayangan yang berkualitas, tentu uang adalah modal pertama dan utama. Kita berkaca saja pada film Satria Gatotkaca yang akan dijadwalkan tayang 2020 mendatang. Untuk keperluan trailer sepanjang 7 menit saja, produsernya mengatakan biaya yang dikeluarkan milyaran rupiah. Itu baru first look-nya saja, seberapa mahal filmnya nanti ya?
Adegan dari zaman dahulu kala yang masih terus ditampilkan
Satu kata untuk sinetron Indonesia, kurang improvisasi. Setiap kali kita menyaksikan layar televisi, yang ditayangkan hanya adegan berpola sama, itu-itu saja dari zaman dahulu kala. Enggak jauh-jauh dari tabrakan dan jatuh cinta kemudian, ditabrak mobil dan lupa ingatan, atau mungkin kebanyakan membatin dan bermonolog sendiri.
Durasi yang terlalu panjang dan judul yang kadang tidak masuk akal
Rata-rata sinetron di Indonesia tamat di episode ke sekian ribu, di mana para penonton yang dulunya masih duduk di bangku SD kini sudah menikah dan punya anak. Jumlah episode yang enggak tanggung-tanggung inilah membuat kita juga bosan dan lupa, ini dulunya cerita tentang apa ya? dari si pembuat tayangan sendiri tidak mau tau apakah jalan cerita sudah mulai ngawur dan berbelok arah, yang penting laris yang lanjut terus.
Meskipun begitu, dahulu kala kita pernah punya kok sinetron mendidik yang, yah walau episodenya juga sampai ratusan setidaknya masih ada nilai moral yang bisa diambil dari sana. Jalan cerita juga tidak semustahil sinetron zaman now. Waktu disiarkannya di televisi juga tak lebih dari dua tahun saja, enggak sampai bermusim-musim hingga bikin pusing kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar